Selasa, 19 Juni 2012

UANG DAN KURS TUKAR


UANG DAN KURS TUKAR DALAM JANGKA PENDEK
            Untuk menentukan  berapa nilai suatu mata uang sekarang, orang harus berusaha untuk menduga arti moneter dalam jangka panjang dari berbagai perkembangan berita yang baru. Persoalan yang langsung dihadapi adalah analog dengan persoalan yang dihadapi oleh seorang penanam (investor) yang sedang mempertimbangkan apakah akan membeli gandum yang akan datang atau sebuah rumah, atau beberapa bagian dari saham, atau kekayaan apa saja. Yang penting adalah untuk mengetahui bagaimana nilai sewa jasa jangka panjang dari kekayaan yang bersangkutan akan dipengaruhi oleh berita yang baru diumumkan. Para ahli valuta asing mempunyai firasat mengenai bagaimana berita berita baru mempunyai hubungan dengan nilai nilai. Sementara hanya itu sajalah firasat mereka, tingkah laku mereka dalam pasar mengungkapkan jenis jenis kekuatan yang mereka pertimbangkan apabila mereka berpindah – pindah dari mata uang yang satu ke mata uang yang lainnya.

DASAR DASAR YANG SAMA
            Pendapat para investor mengenai arti daripada perubahan dalam mata uang segera sebagai reaksi terhadap petunjuk – petunjuk baru mengenai trend jangka panjang dalam penawaran uang dan produk nasional kekuatan dasar yang sama yang sudah dibahas sehubungan dengan persamaan teori kuantitas. Misalnya, permintaan mereka akan mata uang menaik setelah suatu berita yang menunjukkan bahwa bank sentral negara yang bersangkutan bersedia untuk menyebabkan suatu resesi dan keadaan pengangguran dengan memperketat persediaan uang sebanyak dan selama diperlukan untuk mengembalikan stabilitas harga. Tanda – tanda daripada perkembangan yang lebih cepat dalam produk nasional nyata dan posisi persaingan Internasional dari negara sering dipakai sebagai tanda – tanda daripada permintaan yang berkembang yang akan datang bagi mata uang tersebut dan dengan demikian meningkatkan nilai pasar yang sekarang.
            Perlu dicatat bahwa petunjuk – petunjuk mengenai perubahan perubahan yang akan datang dalam persediaan uang dan produk nasional mempengaruhi harga segera (spot price) dengan langsung dan tidak hanya apabila perubahan di masa datang betul betul terjadi. Untuk melihat ini, bayangkanlah suatu kasus tertentu mengenai peringatan – peringatan jauh sebelumnya tentang kemungkinan kenaikan yang besar dalam persediaan uang sesuatu negara dua tahun yang akan datang.

PERTANDA PASAR YANG LAINNYA.
            Perbedaan tingkat bunga. Kita dapat melihat bahwa pasar valuta asing sangat peka terhadap perubahan dalam tingkat bunga. Seringkali apabila tingkat bunga menurun (menaik) di suatu negara secara relatif terhadap tingkat – tingkat bunga di negara – negara lain, maka nilai dari mata uang suatu negara nampaknya menurun (menaik) dalam menanggapi berita seperti ini. Suatu kasus dramatis adalah tingkah laku dari dollar A.S pada saat itu dalam menanggapi perubahan – perubahan besar dalam tingkat bunga A.S. dalam tahun1980. Dalam musim semi tingkat bunga menurun dan nilai dollar menurun. Dalam musim rontok dollar nampaknya meningkat dalam menanggapi setiap kejutan dalam tingkat bunga A.S. Sebagian dari arti pentingnya tingkat bunga mudah dipahami, bagian lain sulit dipahami. Bagian mudahnya adalah pokok yang sederhana bahwa sebagian dari keuntungan memegang mata uang dan berspekulasi mengenai nilainya di masa mendatang terdiri dari bunga yang diperoleh atas deposito atau surat – surat berhargayang disimpan dalam mata uang itu. Dengan demikian untuk setiap kurs perubahan yang diduga dalam harga dollar pada saat itu, maka suatu kenaikan dalam tingkat bunga dollar A.S secara relative terhadap tingkat bunga membuat lebih menarik untuk membeli dan memegang dollar dan dengan demikian menaikkan nilai dollar saat itu.
            Bagian yang lebih sulit daripada tugas melihat reaksi yang nampak dari kurs – kurs tukar terhadap tingkat bunga berhubungan dengan perubahan yang disebabkan oleh dugaan mengenai kurs tukar yang akan datang. Apabila nampaknya tingkat bunga melonjak di A.S dan tidak diluar negeri, bagaimana hal ini akan mempengaruhi harapan anda mengenai nilai saat itu dari dollar A.S di masa mendatang?. Jawabnya bergantung kepada apa yang diperkirakan yang menyebabkan lonjakan dalam tingkat bunga A.S. Apabila diperkirakan bahwa sebab – sebabnya adalah kebijaksanaan keuangan yang ketat atau suatu perluasan sehat dalam produktivitas nyata dari ekonomi A.S. (yang membuat perusahaan A.S ingin meminjam lebih banyak dalam jangka pendek untuk membelanjai perluasan), maka cukup beralasan untuk percaya akan kekuatan dollar. Pada investor nampaknya beranggapan demikian di akhir 1970. Akan tetapi apabila diperkirakan bahwa tingkat bunga A.S meningkat karena orang mengharapkan inflasi harga A.S yang lebih cepat atau karena pemerintah A.S sedang menuju defisit yang lebih besar, maka cukup beralasan untuk meragukan kekuatan dollar di masa mendatang. Relevansi dari perubahan tingkat bunga dengan demikian bergantung kepada apa yang menyebabkannya. Tingkat – tingkat bunga tidak demikian pasti merupakan determinan daripada tingkat kurs tukar seperti persediaan uang dan produk nasional dalam jangka panjang.
            Neraca perdagangan dan neraca pembayaran keseluruhan. Pasar valuta asing sering nampaknya menanggapi pengumuman angka – angka resmi mengenai neraca perdagangan dan neraca pembayaran keseluruhan antara negara. Hal ini tampak wajar, karena suatu defisit perdagangan atau defisit pembayaran nampaknya sebagai pertanda bahwa negara yang menderita defisit lebih banyak mengeluarkan uang daripada yang diperolehnya dari luar negeri. Ketidakseimbangan yang demikian nampaknya mengirimkan mata uang ke pihak luar negeri yang tidak begitu menginginkannya dan yang kemungkinan besar akan berusaha untuk mengeluarkannya. Atau dinyatakan dalam pembahasan mengenai uang nasional sebagai jalan menuju ke Produk Nasional Bruto, defisit perdagangan dan pembayaran dapat dianggap sebagai pertanda bahwa seseorang, apakah dinegeri induk atau di luar negeri, telah berpindah kepada membeli barang – barang dan jasa – jasa yang diberi harga dalam mata uang asing dan dengan demikian menginginkan untuk memegang (dan membelanjakan) lebih banyak dalam mata uang asing.
DARI PERSEDIAAN UANG KE NERACA PEMBAYARAN DI BAWAH KURS TUKAR TETAP
            Pembahasan mengenai persediaan uang mempengaruhi kurs tukar dapat diterapkan kembali kepada suatu kasus khusus yang penting yang telah mendapatkan banyak perhatian : kasus mengenai suatu negara dengan kurs tukar tetap yang mata uangnya hanya diminta oleh penduduknya sendiri. Dalam hal ini kita mempersoalkan dampak daripada perubahan dalam persediaan uang atas surplus atau defisit pembayaran menyeluruh, dan bukannya dengan dampak kurs tukar, yang sekarang kita pertahankan agar tetap. Analisa bentuk ini khususnya relevan dengan suatu sistem kurs tukar yang tetap atau hampir tetap seperti system Bretton Woods sebelum tahun  1971 dan terutama relevan dengan negara – negara yang lebih kecil yang berusaha untuk mepertahankan mata uang mereka agar tersangkut (pegged) dalam nilai secara relative terhadap mata uang internasional yang utama.
Pendekatan Moneter kepada Neraca Pembayaran.
            Kaum Monetaris menganggap mudah dan wajar untuk membuat panah – panah dari persediaan uang ke neraca pembayaran dalam kasus kurs tukar tetap. Apabila persediaan uang diperbesar, melalui bank sentral yang menciptakan cadangan tambahan dan bank – bank yang memperluas peminjaman mereka maka penduduk  non bank dari negeri induk akan menginginkan untuk membelanjakan sebagian dari saldo uang tambahan mereka. Sebagian daripada pembelanjaan mereka adalah untuk barang – barang dan jasa – jasa dalam negeri. Sebagian lagi untuk barang – barang dan jasa – jasa luar negeri. Tambahan pembelian dari barang – barang dan jasa – jasa dalam negeri cenderung mengurangi ekspor dengan mengalihkan sebagian dari produk nasional dari pembeli luar negeri. Kemungkinan pengurangan ekspor ini, ditambah dengan rangsangan langsung kepada impor, akan menyebabkan defisit perdagangan dan pembayaran yang baru. Tambahan persediaan uang dengan demikian berarti defisit perdagangan dan pembayaran yang lebih besar (atau surplus yang lebih kecil). Para pendukung pendekatan moneter kepada neraca pembayaran telah berhasil untuk sebagian di dalam menjelaskan perpindahan yang Nampak dalam neraca pembayaran yang dinyatakan dalam perpindahan dalam persediaan uang secara relative terhadap permintaan – permintaan akan uang.
Pandangan Keynes
            Pendekatan standar cara Keynes kepada makro ekonomi, memberikan suatu rantai kausal yang berbeda dari persediaan uang ke neraca pembayaran. Meskipun hasil akhirnya adalah sama . persediaan uang menaik berarti defisit lebih besar, namun jalan ceritanya berbeda. Prosesnya dimulai dengan perubahan dalam kemampuan dan ketersediaan dari bank untuk menciptakan uang dengan meminjamkan deposito.
















Peningkatan dalam persediaan                                               Pengeluaran meningkat         Neraca
Uang, bank lebih bersedian untuk          Tingkat                                                                Perdagangan
Meminjamkan                                     bunga menurun           Ada modal                          memburuk
Neraca pembayaran keseluruhan memburuk
                                                                                          Mengalir ke luar                              


         
dan
Penurunan dalam persediaan uang, bank kurang bersedia untuk memberi  pinjaman
                                                                             Pengeluaran menurun        Neraca perdagangan
                                                   Tingkat bunga                                                             Membaik
                                                   Menurun                    Ada modal
Neraca pembayaran keseluruhan membaik
                                                                                    Mengalir masuk        

                                                              

           
Kesediaan bank untuk memberi pinjaman dapat secara khas disebabkan oleh kebijaksanaan moneter yang bersifat ekspansi dari bank sentral, seperti menurunkan persyaratan batas cadangan bank, atau menurunkan tingkat diskonto dengan mana bank – bank meminjam cadangan dari bank sentral, atau menciptakan cadangan bank tambahan dengan membeli tambahan surat – surat berharga pemerintah di pasar terbuka. Peningkatan kemampuan untuk member pinjaman akan menyebabkan bahwa bank akan menawarkan tingkat bunga yang lebih rendah kepada para peminjam. Lebih banyak pinjaman baru diberikan yang membuat jumlah aktiva bank di dalam negera meningkat (D) dan pada waktu bersamaan juga passive uang (M ) mereka. Para peminjam memakai dana yang dipinjam untuk membuat pengeluaran baru, untuk rumah – rumah baru, pabrik, dan peralatan baru, dan barang – barang konsumen yang tahan lama. Pengeluaran tambahan menjadi ekspandi ganda dari pengeluaran dan pendapatan nasional, yang mungkin disertai oleh harga – harga yang meningkat. Kenaikan dalam pendapatan dan harga membuat impor meningkat dan neraca perdagangan  menjadi  lebih buruk. Sementara itu penurunan dalam tingkat bunga dalam negeri menyebabkan pemegang kekayaan uang untuk mencari tingkat bunga yang lebih tinggi di luar negeri. Perpindahan mereka dari memberi pinjaman dengan bunga di luar negeri berbentuk penjualan deposito bank di negeri ini untuk mendapatkan aktiva yang menghasilkan bunga di negara – negara lain, dan mungkin juga dalam mata – mata uang yang lain. Arus keluar dari pinjaman ini, atau modal yang mengalir keluar, meletakkan deposito bank di tangan penduduk negara – negara lain. Baik memburuknya neraca perdagangan maupun modal yang mengalir keluar member sumbangan kepada memburuknya neraca pembayaran secara keseluruhan. Suatu penambahan dari persediaan uang jelas membuat neraca pembayaran keseluruhan lebih buruk. Di pihak lain, suatu pengetatan dari persediaan uang nasional jelas meningkatkan neraca secara keseluruhan.
Persoalan Sehubungan dengan tingkat bunga
            Skenario Keynes yang baru dijelaskan menghadapi dua persoalan penting apabila kita melihat dengan lebih dekat kepada peranan daripada tingkat bunga.
            Yang pertama adalah bahwa di dalam dunia yang kini peka dengan inflasi, maka menaikkan persediaan uang dapat meningkatkan tingkat bunga nominal dan bukan menurunkannya. Setelah bertahun – tahun kesadaran yang semakin meningkat mengenai ancaman memperhebat inflasi, para investor bertindak dengan sensitif terhadap perubahan – perubahan dalam jalannya persediaan uang. Berbagai kenaikan yang tidak diduga akhir – akhir ini mengenai persediaan uang telah memperingatkan para investor akan kemungkinan mengenai kenaikan harga yang lebih cepat, dan reaksi mereka adalah untuk menanggap bahwa diperlukan tingkat bunga yang lebih tinggi untuk kompensasi kepada para peminjam karena inflasi tambahan. Meskipun reaksi mereka tidak segera demikian, namun cepat atau lambat kenaikan dalam tingkat persediaan uang akan menyebabkan tambahan inflasi dan tingkat bunga yang lebih tinggi.
            Bahkan apabila tambahan persediaan uang memang menurunkan tingkat bunga di pasar valuta dalam negeri, maka tingkat bunga yang lebih tinggi akan meningkatkan neraca pembayaran hanya dalam arti jangka pendek yang sangat terbatas. Kita tidak dapat berbicara tentang menggunakan tingkat bunga yang lebih tinggi untuk menarik modal (meminjamkan) ke negeri ini tanpa memikirkan kenyataan bahwa tingkat bunga yang lebih tinggi itu harus dibayarkan. Dampak negatif daripada pembayaran bunga kemudian dan pembayaran pokok yang mengalir keluar atas neraca pembayaran akan melampaui arus masuk permulaan dari modal apabila dollar yang sekarang dan yang akan datang semua mempunyai timbangan satuan yang sama.

DARI NERACA PEMBAYARAN KEMBALI KEPADA PERSEDIAAN UANG
            Suatu surplus di dalam neraca pembayaran suatu negara merupakan suatu cara dengan mana negara menambah persediaan uangnya, dan suatu defisit merupakan cara dengan mana persediaan uang menjadi habis.
            Kesimpulan umum ini secara umum adalah benar, meskipun implikasi dari suatu surplus atau defisit pembayaran bagi persediaan uang nasional bergantung kepada bagaimana surplus atau defisit ini diukur dan kepada lembaga – lembaga moneter negara yang bersangkutan.
            Untuk keperluan pembahasan ini kita akan merumuskan surplus neraca pembayaran sebagai kenaikan netto dalam kekayaan uang di luar negeri sesuatu negara dikurangi kenaikan netto dari tuntutan uang negara – negara lain kepada negara ini (deposito bank, mata uang dan sebagainya).
            Di waktu – waktu yang lalu, uang adalah serupa dengan kekayaan cadangan internasional. Hal ini benar bagi negara – negara yang utama sebelum akhir abad – 19. Emas merupakan kekayaan cadangan internasional, dan kekayaan dalam negeri yang mendukung uang kertas, dan bahkan bentuk mula – mula dari uang yang beredar itu sendiri. Hal ini terutama benar sebelum timbulnya perbankan cadangan fraksi (fractional reserve banking) selama abad ke 18. Ketika bank masih melakukan fungsi mengeluarkan surat – surat bank yang semua dapat ditebus  sepenuhnya dengan emas apabila depositornya mau menyerahkannya, emas adalah uang dan cadangan. Hal yang serupa dengan ini berlaku bagi banyak perekonomian colonial sebelum mereka merdeka. Mata uang dari negara colonial beredar di Koloni sebagai persediaan uang, yang dinaikkan atau diturunkan, bergantung kepada apakah negara berada dalam surplus atau defisit pembayaran. Apabila uang dan cadangan adalah sama, maka terdapat suatu identitas sederhana yang menghubungkan surplus neraca pembayaran dengan persediaan uang nasional.
            Apabila cadangan dan uang merupakan hal yang sama,
                                                            B = ∆ R = ∆ M     
Dan tingkat pertumbuhan dari persediaan uang bergantung hanya kepada neraca pembayaran :
 =

Dimana B merupakan surplus neraca pembayaran (arus masuk netto dari uang luar negeri). ∆R merupakan perubahan dalam cadangan, dan  ∆M adalah perubahan dalam persediaan uang. Surplus neraca pembayaran yang diukur dengan cara demikian baik sejauh mana persediaan uang negara ini sedang bertambah dan seluruh mana negara negara lain kehilangan uang.
            Kini kebanyakan lembaga – lembaga moneter negara –negara lebih kompleks dari hal di atas. Persediaan uang tidak lagi terbatas kepada suatu jumlah yang sama dengan cadangan moneter  negara, apakah kekayaan cadangan dalam negeri atau kekayaaan cadangan internasional. Emas sudah lama ditarik dari  peredaran moneter swasta, meskipun masih merupakan suatu barang konsumen dan industry yang meningkat nilainya. Kekayaan cadangan internasional suatu negara dipegang untuk sebagian besar oleh pihak moneter sentral yang berwewenang (bank sentral dan kas negara) dan oleh bank – bank swasta, sebagai bagian, tetapi hanya bagian dari dukungan persediaan uang negara. Kebanyakan uang modern terdiri dari deposito atas permintaan dalam bank yang hanya didukung oleh fraksi cadangan dari sistem perbankan.
            Untuk menyederhanakan rangkaian  lembaga – lembaga moneter yang lebih kompleks tanpa merubah hasil – hasil yang pokok, kita akan menganggap pejabat – pejabat moneter dan bank – bank swasta yang mereka awasi sebagai sektor perbankan yang terkonsolidasi. Kita juga akan menganggap bahwa semua mata uang kepada luar negeri menjadi bebannya, dan bahwa uang nasional hanya terdiri dari deposito bank atas permintaan, dengan mengabaikan mata uang dalam peredaran. Dibawah asumsi – asumsi ini, persediaan uang nasional (M) terdiri atas cadangan yang dipegang oleh system perbankan (R) ditambah kekayaan domestic dari sistim perbankan (D), yang sesuai dengan hutang deposito atas permintaan lainnya.
            Apabila cadangan dan uang tidak merupakan hal yang sama,
                                                M = R + D,
Dan karena = ∆R
                                                ∆M = B + ∆D
Sehingga tingkat pertumbuhan dari persediaan uang bergantung kepada neraca pembayaran dan juga kepada kredit dalam negeri :
                                                 =
Selama sistim perbankan tidak merubah aktiva dalam negerinya (sehingga ∆D = 0), saldonya mempengaruhi uang sama langsungnya dalam hal ini seperti tidak harus dibedakan antara cadangan dengan uang. Apabila persediaan uang mula mula adalah 100, maka surplus neraca pembayaran sebesar 10 per tahun menaikkan persediaan uang dengan 10 persen per tahun.
            Namun di bawah lembaga – lembaga kontemporer, system perbankan dapat menghilangkan atau “sterilisasi” ketidakseimbangan pembayaran, yaitu menjaga agar tidak mempunyai dampak netto atas persediaan uang nasional. Sterilisasi ini dapat dilaksanakan oelh pejabat – pejabat moneter atau bank – bank swasta di salam sektor perbankan. Para penguasa dapat melakukan hal ini dengan menanggapi pembayaran surplus dengan mengurangi kemampuan daripada bank – bank swasta untuk member pinjaman (dengan kebijaksaanaan uang yang demikian ketat sehingga menaikkan persyaratan cadangan dari bank – bank swasta). Bank – bank swasta dapat melakukan hal ini, apabila mereka menginginkan, dengan mengurangi pemberian pinjaman mereka kepada peminjam dalam negeri sebesar jumlah surplus pembayaran. Dengan demikian, suatu surplus pembayaran sebesar 10 persen setahun dapat juga agar tidak mempengaruhi persediaan uang apabila system perbankan mengurangi kredit dalam negeri dengan 10 persen per tahun , dengan membuat agar B = - ∆D, sehingga YM = 0. Sesuai dengan itu, system perbankan dapat menstrelisasi suatu defisit dengan memperbesar kredit luar dalam negeri secukupnya untuk mempertahankan agar persediaan uang seluruhnya tetap sama.
            Dengan demikian, suatu surplus atau defisit pembayaran mempengaruhi persediaan uang hanya apabila system perbankan tidak mensterilisasi ketidakseimbangan pembayaran. Ada batas batas jelas bagi sistim perbankan untuk melindungi persediaan uang nasional sama sekali terhadap neraca pembayaran. Apabila negara tetap mengalami surplus, dan berusaha untuk mengimbangi hal ini dengan mengurangi pemberian pinjaman dalam negeri, maka setelah beberapa waktu cadangannya (misalnya, deposito di bank – bank luar negeri) akan sebesar persediaan keseluruhan uang dalam negeri , dan surplus – surplus lain akan menaikkan persediaan uang (kecuali apabila sistim perbankan menjadi peminjam netto dari sektor – sektor lainnya dalam perekonomian). Di pihak lain, apabila negara tetap mengalami defisit, maka sistim perbankan akan segera kehabisan cadangan. Meskipun hal ini mungkin apbila negara bersedia untuk membiarkan mata uangnya berfluktuasi dalam nilainya tanpa dukungan resmi, maka hal ini bertentangan dengan system kurs tukar tetap yang sedang kita bahas sekarang. Dengan demikian neraca pembayaran cepat atau lambat cenderung mempengaruhi persediaan uang, akan tetapi mungkin lebih belakangan dalam negara – negara dengan ketidakseimbangan pembayaran yang kecil secara relative terhadap cadangan dan persediaan uang.

KESIMPULAN
            Karena pasar valuta asing merupakan pasar dimana uang diperdagangkan dengan uang, maka tidak dapat dielakkan bahwa penjelasan mengenai bagaimana pergerakan dari kurs tukar akan berkisar pada penawaran dan permintaan akan uang nasional. Dalam jangka panjang, permintaan akan suatu uang nasional dapat dinyatakan sebagai kPy, atau suatu koefisien tingkah laku (k) dikalikan dengan tingkat harga (P) dikalikan dengan tingkat produk nasional nyata (y). Keseimbangan menyesuaikan permintaan ini terhadap persediaan uang (M). Suatu keseimbangan yang serupa akan cenderung bertahan dalam negara – negara asing (Mf = kf Pf yf).
            Keseimbangan – keseimbangan pasar uang yang terpisah dapat dirobah menjadi teori kurs tukar dengan bantuan teori paritas daya beli. Teori ini meramalkan bahwa persaingan Internasional akan cenderung menyamakan harga dalam dan luar negeri dari barang – barang dan jasa – jasa yang diperdagangkan, sehingga P = rPf keseluruhan, di mana r adalah harga daripada mata uang asing dalam satuan mata uang dalam negeri. Apabila paritas daya beli berlaku, maka pendekatan moneter kepada kurs tukar meramalkan bahwa :
                                                            r =   =

          Perubahan dalam persediaan uang dan produk nasional nyata dengan demikian adalah penting bagi pengertian tentang perubahan jangka panjang dari kurs tukar.
            Teori paritas daya beli dapat bertahan dengan baik untuk jangka waktu, katakanlah, satu decade atau lebih di bawah kurs normal daripada perobahan harga. Namun untuk jangka pendek, ramalannya kurang tepat. Perubahan jangka pendek dari kurs – kurs tukar secara kritis bergantung kepada pengharapan para investor  dan tanggapan mereka atas berita – berita. Mereka nampaknya amat memperhatikan berita – berita politik, angka – angka neraca pembayaran, dan banyak petunjuk lainnya mengenai permintaan dan penawaran jangka panjang.
            Persediaan uang mempengaruhi neraca pembayaran di bawah kurs – kurs tukar tetap sama seperti ia mempengaruhi kurs tukar pasar mengambang. Persediaan uang dalam negeri yang lebih besar.  Berarti defisit pembayaran yang lebih besar. Hasil ini dapat diperoleh dari pandangan monetaris atau Keynes, meskipun yang terakhir ini mengandung beberapa bagian yang kurang sesuai sehubungan dengan peranan daripada tingkat – tingkat bunga.
            Karena surplus atau defisit keseluruhan atas neraca pembayaran secara kasar merupakan suatu arus uang netto atau cadangan yang mendukung uang, neraca pembayaran jelas dapat mempengaruhi persediaan uang nasional. Lembaga – lembaga kontemporer memungkinkan, dalam batas – batas luas, bagi pejabat moneter untuk memutuskan hubungan ini dengan “ mensterilisasi”, atau mengimbangi surplus atau defisit neraca pembayaran. Surplus dapat dijaga agar tidak menambah kepada persediaan uang nasional dengan pengetatan oleh system perbankan mengenai kredit domestic, dan defisit dapat diimbangi oleh perluasan daripada kredit dalam negeri.

Senin, 18 Juni 2012

KARYA TULIAS ILMIAH 02


KARYA TULIS ILMIAH

KEBIJAKAN PENURUNAN SUKU BUNGA
dan PERTUMBUHAN KREDIT PERBANKAN


OLEH :

                                                            NAMA           :  RAHMAH
                                                            KELAS          :  09A
                                                            NIM                :  099104027




PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2012


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmatNya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Kebijakan Penurunan Suku Bunga dan Pertumbuhan Kredit Perbankan”.
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini kami telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan maksimal. Namun sebagai manusia biasa,kami tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi tekhnik penulisan maupun tata bahasa. Tetapi walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin menyelesaikan karya ilmiah meskipun tersusun sangat sederhana.
Kami menyadari tanpa kerja sama antara dosen pembimbing dan penulis serta beberapa kerabat yang memberi berbagai masukan yang bermanfaat bagi penulis demi tersusunnya karya tulis ilmiah ini. Untuk itu penulis mengucapakan terima kasih kepada pihak yamg telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran penyusunan karya ilmiah ini.
Demikian semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca pada umumnya. Kami mengharapkan saran serta kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun.


Malang, Maret 2011

Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Masyarakat mendambakan perbankan yang tidak saja sehat dan kuat, tapi juga berperan secara efektif dan efisien dalam pembiayaan perekonomian. Terciptanya perbankan yang sehat dan kuat di satu sisi, dan perbankan yang dapat menjalankan fungsi intermediasinya secara efektif dan efisien di sisi lainnya, bukanlah dua hal yang dapat dipisahkan. Selain itu, industri perbankan perlu terus berbenah untuk meningkatkan daya saing terutama dalam menghadapi tantangan yang sudah sangat nyata di depan, yaitu perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Dengan memandang bahwa pengelolaan ekonomi makro kedepan masih harus berhadapan dengan risiko global dan kompleksitas permasalahan domestik yang begitu besar, arah kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2012 akan di arahkan dalam rangka:
  1. Mengoptimalkan peran kebijakan moneter dalam mendorong kapasitas perekonomian sekaligus memitigasi risiko perlambatan ekonomi global.
  2. Meningkatkan efisiensi perbankan untuk mengoptimalkan kontribusinya dalam perekonomian, dengan tetap memperkuat ketahanan perbankan.
  3. Meningkatkan efisiensi, kehandalan, dan keamanan sistem pembayaran, baik dalam sistem pembayaran nasional maupun hubungan sistem pembayaran dengan luar negeri.
  4. Memperkuat ketahanan makro dengan memantapkan koordinasi dalam manajemen pencegahan dan penanganan krisis (PMK).
  5. Mendukung pemberdayaan sektor riil termasuk melanjutkan upaya perluasan akses perbankan (financial inclusion) kepada masyarakat
Pada tahun 2012, kebijakan moneter akan diarahkan dalam rangka melanjutkan stabilisasi di sektor keuangan serta menjangkar BI Rate yang konsisten dengan upaya mengoptimalkan stimulus pada perekonomian, namun dengan tetap memperhatikan pencapaian sasaran inflasi.
Respon suku bunga akan diarahkan agar konsisten untuk pencapaian sasaran inflasi IHK sebesar 4,5 persen ± 1 persen pada tahun 2012 dan 2013, sekaligus untuk menjaga momentum penguatan ekonomi dan memitigasi risiko dari perlambatan ekonomi global. Kebijakan suku bunga ini akan dilengkapi dengan kebijakan makro prudensial, untuk memitigasi risiko kerentanan pada sektor-sektor konsumtif yang pertumbuhannya tidak sustainable atau berpotensi mengalami pengelembungan harga aset (asset bubble).
Strategi operasi kebijakan moneter akan tetap diarahkan untuk menjaga kestabilan suku bunga di pasar uang rupiah, mendukung stabilitas nilai tukar, dan memelihara stabilitas pasar keuangan. Bentuk stabilitas tersebut perlu memberikan ruang yang lebih luas bagi pendalaman pasar keuangan nasional.
Oleh karena itu, operasi moneter akan bertumpu pada instrumen-instrumen yang secara langsung dapat menghidupkan aktifitas transaksi di pasar uang seperti, transaksi pasar uang rupiah antar bank (PUAB), Repurchase Agreement (Repo) dan swap. Dengan demikian, ini akan mendorong pengelolaan likuiditas perbankan secara lebih sehat dan efisien. Bank Indonesia juga melihat perlunya langkah-langkah untuk melanjutkan proses ‘re-alignment’ struktur suku bunga di pasar keuangan melalui berbagai penyempurnaan dalam mekanisme operasi pasar terbuka (OPT).
Kebijakan Bank Indonesia di nilai tukar akan tetap diarahkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar dengan memperhatikan pencapaian keseimbangan internal dan eksternal perekonomian, serta memberikan kepastian bagi seluruh pelaku ekonomi. Sejak Januari 2012, kebijakan stabilisasi nilai tukar akan didukung oleh implementasi kebijakan kewajiban penerimaan devisa hasil ekspor (DHE) dan devisa utang luar negeri (DULN) di bank domestik. Bank Indonesia juga tengah me-review ketentuan-ketentuan untuk memperkaya instrument di pasar valas dalam rangka menghidupkan transaksi lindung nilai (hedging).
Berdasarkan uraian di atas maka saya mengangkat sebuah judul karya tulis ilmiah tentang “Kebijakan Penurunan Suku Bunga dan Pertumbuhan Kredit Perbankan”
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Penurunan Suku Bunga terhadap Perbankan ?
2.      Bagaimana Pertumbuhan Kredit Perbankan setelah Suku Bunga turun
C.     TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui penurunan suku bunga terhadap Perbankan.
2.      Untuk mengetahui pertumbuhan kredit Perbankan setelah Suku Bunga Turun.

D.    MANFAAT PENULISAN
Dapat memahami Penurunan Suku Bunga terhadap Perbankan dan dampak yang diberikan terhadap Pertumbuhan Kredit Perbankan.

BAB II
PEMBAHASAN

Walau masih di awal tahun, industri perbankan Indonesia sudah langsung tancap gas dalam menggenjot pertumbuhan penyaluran kredit mereka. Dapat terlihat pada Statistik Perbankan Indonesia per Januari 2012 jumlah kredit yang dikucurkan perbankan mengalami kenaikan. Per akhir Januari 2012, Bank Indonesia mencatat kucuran kredit perbankan tumbuh 23,7% dalam setahun menjadi Rp 2159,8 triliun, dengan pertumbuhan kredit investasi mencapai 38,1%.
Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kucuran kredit dalam setahun mencapai 23,7% di akhir Januari 2012, mencapai Rp2.159,8 triliun. Kenaikan dari posisi akhir Januari 2011 sebesar Rp1.746 triliun. Kenaikan ini berbeda dari tren kredit di awal tahun yang cenderung melambat. Hal ini mencerminkan membaiknya peran intermediasi perbankan sebagai jasa perantara keuangan. Dari jenis kredit, pertumbuhan kredit investasi mencapai 38,1% dalam setahun, kredit modal kerja tumbuh 20,2%, dan kredit konsumsi naik 20,3%.
Penyaluran kredit pada sektor produktif terus meningkat. Peningkatan terutama terlihat pada sektor industri pengolahan, pertanian, perdagangan, dan jasa dunia usaha masing-masing sebesar 27,9%, 25,7%, 21,1%, dan 27%.
Menurut data Statistik Perbankan Indonesia, jumlah kredit investasi yang dikucurkan bank naik menjadi Rp 472,48 triliun. Naik jika dibandingkan posisi akhir Januari 2011 sebesar Rp 342,13 triliun.
Kredit modal kerja menjadi Rp1.027,85 triliun dari Rp855,12 triliun. Sementara kredit konsumsi menjadi Rp660,15 triliun dari Rp548,75 triliun. Isu kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi ternyata tidak banyak berpengaruh pada permintaan kredit dari masyarakat. Selama daya beli masyarakat terjaga dan kondisi ekonomi cukup baik maka bank tetap dapat meningkatkan pemberian kreditnya kepada masyarakat.
Pertumbuhan kredit ini, menurut Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, sesuai dengan rencana bisnis bank yang diperkirakan akan tumbuh sebesar 24%. Kredit lebih banyak dipengaruhi oleh situasi perekonomian dunia, jika perekonomian dunia melambat, maka pertumbuhan kredit pun melambat.
Tingginya pertumbuhan kredit ini terutama dipicu oleh masih tingginya permintaan kredit dari masyarakat sebagai sumber pembiayaan ekonomi yang utama, meningkatnya kegiatan ekonomi terutama investasi, dan penurunan tingkat suku bunga.
Menurut BI, kondisi ini seiring dengan meningkatnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto di tiap sektor pada tahun 2011 dan prospek pertumbuhan ekonomi yang positif. Peningkatan jumlah kredit ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas perekonomian
Kendati suku bunga acuan (BI Rate) saat ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah, pertumbuhan kredit perbankan tahun ini tidak akan melonjak tinggi. Diperkirakan, pertumbuhan kredit perbankan tahun ini 24-25 persen, tidak berbeda jauh dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2011 yang mencapai 24,6 persen.
Ada dua hal yang menyebabkan pertumbuhan kredit tertahan. Sebagaimana dikemukakan ekonom Standard Chartered, Eric Sugandi, kepada Kompas, inflasi yang diprediksi meningkat tahun ini menjadi penyebab. ”Dengan tekanan inflasi yang cukup besar, masyarakat akan memilih membeli kebutuhan utama lebih dulu, seperti makanan,” kata Eric, di Jakarta, Minggu (25/3).
Inflasi itu, antara lain, akibat perubahan kebijakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Bank Indonesia (BI) bahkan sudah memperkirakan inflasi sebesar 6,8-7,1 persen apabila premium dinaikkan harganya sebesar Rp 1.500-Rp 2.000 per liter.
Meskipun BI meyakini dampak kenaikan harga BBM bersubsidi itu cukup terbatas, yakni hanya sekitar tiga bulan, angka inflasi itu dapat menembus target BI. Tahun 2012, BI menargetkan inflasi sebesar 3,5-5,5 persen.
Penyebab lain tertahannya kredit perbankan adalah kebijakan BI yang baru saja diterbitkan, yakni uang muka minimum untuk pembelian rumah dan kendaraan bermotor secara kredit. Pembelian rumah dengan luas di atas 70 meter persegi harus menyediakan uang muka minimum 30 persen dari harga rumah. Untuk membeli kendaraan bermotor roda dua harus menyediakan uang muka minimum 25 persen dan kendaraan bermotor roda empat menyediakan uang muka 30 persen dari harga kendaraan.
Menurut Eric, tanpa dua hal tersebut, yaitu inflasi yang melonjak serta aturan kredit rumah dan kendaraan bermotor, semestinya kredit perbankan bisa tumbuh 27-30 persen pada tahun ini. Akan tetapi, kredit perbankan tidak terlalu tertekan pertumbuhannya, karena suku bunga acuan yang masih cukup rendah, sehingga masih dapat tumbuh 24-25 persen pada tahun ini.
Manager Analyst Financial Institution ICRA Indonesia Kreshna D Armand menyebutkan, kredit perbankan akan tumbuh 20-23 persen pada tahun 2012. Angka ini justru lebih rendah dibandingkan dengan pencapaian pertumbuhan kredit tahun 2011.
Menurut Kreshna, tahun 2012 merupakan tahun tantangan bagi bank untuk menyiapkan skenario menghadapi kondisi ekonomi global yang tidak terlalu baik. Di Indonesia, tantangan itu berupa rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada triwulan II tahun 2012 yang akan memicu inflasi serta aturan minimum uang muka kendaraan dan rumah. Total kredit perbankan per akhir Desember 2011 sebesar Rp 2.200 triliun, dengan pertumbuhan kredit 24,6 persen. Angka pertumbuhan kredit ini melampaui perkiraan ICRA Indonesia, yakni 23,5 persen.
Kredit dalam bentuk valuta asing per akhir tahun 2011 sebesar Rp 361,142 triliun, meningkat 32 persen dibandingkan dengan akhir tahun 2010 yang mencapai Rp 273,438 triliun. Kredit dalam bentuk rupiah tercatat Rp 1.838 triliun, tumbuh 23,2 persen dibandingkan dengan akhir tahun 2010 yang sebesar Rp 1.492 triliun.
Menurut Kreshna, secara komposisi, rupiah memang masih mendominasi kredit perbankan, yakni 83,6 persen dari total kredit tahun 2011. Akan tetapi, porsi kredit rupiah ini turun dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2010 yang mencapai 87,8 persen.
Seiring dengan tren penurunan suku bunga kredit perbankan, penyaluran kredit mengalami peningkatan dibandingkan bulan Februari. Tingkat suku bunga perbankan pada periode bulan maret tercatat sebesar 11,69% lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tingkat suku bunga pada kurun waktu 2 tahun terakhir yang tercatat sebesar 12,05%. Pada bulan Februari 2012, nilai nominal penyaluran kredit sebesar Rp 106,04 triliun, meningkat 0,92% atau 16,46%.
Share perbankan konvensional sebesar 95,31% dan share perbankan syariah terhadap total kredit/pembiayaan adalah 4,69%. Selain itu, fungsi intermediasi perbankan syariah tercatat tumbuh sebesar 8,75% . Dalam siaran pers KBI Regional Sumut – NAD, yang diterima hari ini (1/4), kualitas kredit perbankan masih terjaga dengan baik yang terlihat dari rasio gross non performing loans (NPLs) yang di posisi Februari 2012 tercatat hanya sebesar 2,32%. Sementara itu, LDR perbankan Sumut pada bulan Februari 2012 tercatat sebesar 82,81%.
Sementara itu, dukungan kredit perbankan terhadap sektor-sektor ekonomi di Sumatera Utara masih menunjukkan peningkatan terutama untuk sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang mengalami peningkatan tertinggi sebesar 4,57%.
Hal ini menunjukkan masih tingginya kinerja sektor-sektor ekonomi utama di Sumatera Utara. Merupakan rata-rata tingkat suku bunga kredit perbankan periode Februari 2010 – Februari 2012. Transaksi RTGS di Sumut bulan Februari 2012 mengalami penurunan sebesar Rp 785 miliar atau 1,48% dibandingkan dengan transaksi bulan Januari 2012 yang tercatat sebesar Rp 53,11 triliun.
Transaksi RTGS di Sumut pada bulan Februari 2012 tercatat sebesar Rp 52,32 triliun dengan volume transaksi sejumlah 69.565 transaksi. Transaksi transfer masuk dari luar Sumatera Utara tercatat sebesar Rp24,21 triliun, lebih besar daripada transfer keluar dari Sumatera Utara yang tercatat sebesar Rp 19,11 triliun.
Sementara transfer yang terjadi dalam wilayah Sumatera Utara sendiri tercatat sebesar Rp 8,99 triliun. Porsi transaksi terbesar terjadi di Kota Medan dengan total nilai transaksi sebesar Rp 48,84 triliun atau 93,34% dari total transaksi RTGS di Sumatera Utara.
Nilai transaksi kliring pada bulan Februari 2012 mengalami penurunan sebesar Rp 111,4 miliar atau menurun 0,94% dibandingkan dengan transaksi bulan Januari 2012 yang tercatat sebesar Rp 11,82 triliun. Nilai transaksi kliring pada Februari 2012 sebesar Rp 11,71 triliun dengan volume transaksi sebanyak 370.847 warkat.
Sementara itu, kliring retur pada Februari 2012 mengalami penurunan sebesar 13,18% menjadi Rp 148,09 miliar. Berdasarkan volumenya, kliring retur mengalami penurunan 7,88 % dari 6.488 warkat menjadi 5.977 warkat.
Sedangkan, jumlah penolakan cek dan bilyet giro (Cek/BG) kosong mengalami penurunan pada Februari 2012. Nilai penolakan cek/BG kosong bulan Februari 2012 tercatat sebesar Rp 118,33 miliar dengan jumlah warkat sebanyak 4.868. Angka ini menurun dibandingkan bulan Januari 2012 yang tercatat sebesar Rp140,86 miliar dengan warkat sebanyak 5.300.
            Trend rendahnya tingkat inflasi dan penurunan suku bunga induk (BI-rate) hingga level 5,75% pada awal maret 2012  (terendah sejak pemberlakuan suku bunga induk) oleh Bank Indonesia, seharusnya dapat menjadi berita gembira untuk semua kalangan seperti pengusaha, debitur kredit pemilikan rumah (KPR) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) karena diharapkan  kebijakan bank sentral ini akan diikuti dengan penurunan bunga kredit bank.
Seperti yang kita ketahui, bunga kredit memang sudah mulai turun. Besarannya bervariasi, mulai dari 11% hingga 14%.  Bahkan untuk kredit consumer dalam bentuk KPR, bunganya mulai mengarah ke arah single digit. Ada beberapa bank yang menerapkan KPR hingga 8% untuk fiks tiga tahun.
Bunga kredit komersial memang belum turun signifikan, kalau pun ada besarannya hanya di bawah satu persen, belum memenuhi harapan sejumlah kalangan seperti pelaku usaha kecil dan menengah (UKM). Itu pun perlu menunggu sekitar dua atau tiga bulan setelah penurunan bunga acuan diumumkan BI. Sementara berbagai kalangan menyatakan bahwa bunga kredit yang wajar adalah dua atau tiga persen di atas BI rate. Namun, jangan khawatir dulu, penurunan suku bunga itu jelas sangat terbuka luas.
Fenomena ini memberikan sinyal positif penurunan suku bunga dana dan kredit, karena salah satu faktor yang di anut oleh Indonesia dalam menentukan suku bunga bank ialah BI rate. Dengan demikian, penurunan bunga dana dan kredit adalah sebuah kemungkinan, walaupun masih ada faktor lain yang mempengaruhi suku bunga bank, selain BI rate.
BI rate turun membuat suku bunga simpanan juga turun. Dalam beberapa hal, kondisi ini mengkhawatirkan lantaran dapat memicu berkurangnya nilai simpanan yang dimiliki oleh bank dalam menggalang dana. Apabila bunga deposito turun maka biaya dana atau cost of fund akan turun juga, sehingga tidak ada alasan perbankan untuk menurunkan suku bunga kreditnya, artinya dana akan tetap mahal, cost of fund akan tetap mahal.
Suku bunga pinjaman sangat tergantung pada suku bunga dana, kalau suku bunga dana tidak bisa di turunkan, otomatis suku bunga kredit tidak bisa diturunkan, karena perebutan dananya semakin sulit. Hal ini terjadi karena orang yang mempunyai uang makin mengurangi deposito dan mengalihkan dananya ke reksa dana, karena reksa dana memberikan yield yang tinggi selama tiga tahun terakhir seperti yang dikatakan Ekonom INDEF Aviliani
Bankir pun berupaya membendung keluarnya dana masyarakat ini dengan iming-iming suku bunga deposito tinggi untuk menggalang dana. Inilah awal dari sulitnya menurunkan suku bunga deposito bank belakangan ini. Jadi, untuk menurunkan suku bunga kredit, tidaklah semudah dan seindah yang dibayangkan banyak pihak. Begitu banyaknya faktor yang perlu bersinergi untuk menurunkan bunga kredit, dengan bunga penjaminan turun, maka bank akan menurunkan bunga simpanan atau deposito yang artinya akan mengurangi nilai simpanan.
Barangkali patut disimak pendapat Gubernur BI Darmin Nasution tentang keterkaitan antara penurunan BI rate dengan bunga kredit. Darmin Nasution menyatakan bahwa penurunan itu tidak otomatis akan diikuti penurunan suku bunga dasar kredit perbankan. Penurunan bunga kredit juga masih harus mempertimbangkan pengumpulan dana pihak ketiga, pertumbuhan kredit dan target laba. Bagaimana mungkin bank menurunkan bunga kredit jika akhirnya dikhawatirkan kinerja mereka di bursa memburuk, yang ditandai dengan kecilnya laba yang diperoleh, sehingga akan menurunkan nilai harga sahamnya di bursa efek.
Suku bunga BI maupun suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah rujukan tapi tingkat suku bunga ditentukan pasar dan pasar tidak bisa dikontrol. LPS sudah tidak lagi menggunakan BI rate sebagai patokan karena bunga yang efektif digunakan di pasar oleh perbankan adalah bunga operasi moneter BI seperti discount facility dan term deposit overnight sebesar 3,75 persen
Barangkali penurunan bunga kredit ini masih berproses dan membutuhkan dukungan sejumlah pihak, termasuk masyarakat. Pemerintah perlu menerbitkan kebijakan yang mendorong peningkatan investasi dan perkembangan dunia usaha, sehingga pangsa pasar perbankan nasional terus bertumbuh.
Banyaknya dana-dana masuk dari luar negeri/hot money yang berdampak pada bergairahnya harga-harga saham (IHSG), digunakan sebagai momentum untuk menurunkan suku bunga bank. Terlebih di tengah-tengah tingkat inflasi tahunan yang hanya 4%, semestinya akan memacu perbankan untuk segera menurunkan suku bunga dana dan gilirannya berdampak pada penurunan bunga kredit.
Dalam setahunan dari minggu keempat April 2011 sampai minggu keempat April 2012, Bank Indonesia mencatat kredit perbankan tumbuh 26%. Paulus Yoga Bandung–Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit industri perbankan mencapai 26% sampai posisi minggu keempat April 2012. Bank sentral melihat pertumbuhan kredit secara keseluruhan didorong oelh pertumbuhan kredit investasi dan kredit modal kerja.
Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah menuturkan bahwa Permintaan domestik masih sangat kuat, di minggu kempat April, kredit tumbuh 26%. Ini lebih tinggi dari yang di duga sekitar 23-24%. Beliau menjelaskan bahwa dari tren beberapa bulan terakhir, pertumbuhan kucuran kredit investasi dan kredit modal kerja jauh lebih cepat dibanding pertumbuhan kredit konsumsi. Kredit masih didorong oleh kredit modal kerja dan investasi. Kredit konsumsi agak sedikit melambatlah. Komposisi ini cukup sehat.
Masih besarnya permintaan kredit menunjukkan kegiatan ekonomi di dalam negeri masih cukup baik. Selama tahun 2012 sendiri, BI memprediksi pertumbuhan kredit masih di level 24-25% sesuai dengan rencana bisnis bank RBB).
Ini masih ada beberapa ketidakpastian, tergantung respon pemerintah terhadap BBM (bahan bakar minyak). Asumsi kalau kondisi seperti sekarang, perbankan bisa tumbuh 24-25%. Perbankan cenderung menggunakan RBB sebagai landasan untuk ekspansi.
Data terakhir bank sentral yang berhasil dihimpun Infobanknews.com, mencatat dalam setahunan dari Februari 2011 sampai Februari 2012, kredit perbankan naik 24,2%, dengan pertumbuhan terbesar ada pada kredit investasi yang mencapai 33,2%, disusul kredit modal kerja dan kredit konsumsi yang masing-masing tumbuh 23,4% dan 19,6%.
Menurut Halim, jika pergerakan ekonomi tetap stabil seperti kondisi sekarang maka diperkirakan pertumbuhan kredit perbankan hingga akhir tahun akan berkisar 24%-25% atau sesuai dengan rencana bisnis bank di 2012.

Mengenai pertumbuhan ekonomi kwartal I yang dilaporkan BPS sebesar 6,3%, Halim mengatakan penurunan ini lebih disebabkan melemahnya perekonomian global akibat krisis keuangan Eropa yang belum terselesaikan. Sementara untuk kwartal kedua, Halim memperkirakan pertumbuhan masih bisa tumbuh sekitar 6,3%-6,5% tergantung kebijakan Pemerintah mengenai harga BBM bersubsdi.
Akhir tahun juga sekitar itu, tergantung respon pemerintah atas kebijakan BBM, sebab kalau dinaikkan, inflasi akan lebih tinggi dan bisa menekan masyarakat penghasilan tetap yang daya belinya akan menurun, namun kalau pemerintah bisa memberikan stimulus bisa kita pertahankan di 6,3%-6,5%. Mengenai kemungkinan naiknya ekspektasi inflasi akibat belum jelasnya kebijakan harga BBM, Halim mengatakan BI sudah menaikkan suku bunga instrumen moneter jangka waktu 3 - 9 bulan.
Sepanjang itu memungkinkan akan kita lakukan, instrumen moneter seperti deposito fasility dan term deposit, suku bunganya sudah bergerak naik.
            Menurutnya, pengendalian inflasi ini perlu dijaga konsisten dengan berbagai opsi yang ada, apakah itu melihat likuiditas atau menaikkan suku bunga moneter supaya pasar lebih yakin jangan sampai ekspektasi inflasi tidak terkendali. Sebelumnya, BI mencatat stabilitas sistem perbankan tetap terjaga dan disertai dengan fungsi intermediasi yang semakin baik dalam mendukung pembiayaan perekonomian. Industri perbankan menunjukkan kinerja yang semakin solid sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas patokan minimum 8% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%.
Sementara itu, intermediasi perbankan juga terus membaik, tercermin dari pertumbuhan kredit yang hingga akhir Februari 2012 mencapai 24,2% (yoy). Kredit investasi tumbuh cukup tinggi, sebesar 33,2%  dan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas perekonomian.  Sedangkan, kredit modal kerja dan kredit konsumsi masing-masing tumbuh sebesar 23,4% dan 19,6%

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Seiring dengan tren penurunan suku bunga kredit perbankan, penyaluran kredit mengalami peningkatan dibandingkan bulan Februari. Tingkat suku bunga perbankan pada periode bulan maret tercatat sebesar 11,69% lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tingkat suku bunga pada kurun waktu 2 tahun terakhir yang tercatat sebesar 12,05%. Pada bulan Februari 2012, nilai nominal penyaluran kredit sebesar Rp 106,04 triliun, meningkat 0,92% atau 16,46%.
Tingginya pertumbuhan kredit terutama dipicu oleh masih tingginya permintaan kredit dari masyarakat sebagai sumber pembiayaan ekonomi yang utama, meningkatnya kegiatan ekonomi terutama investasi, dan penurunan tingkat suku bunga.
Menurut BI, kondisi ini seiring dengan meningkatnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto di tiap sektor pada tahun 2011 dan prospek pertumbuhan ekonomi yang positif. Peningkatan jumlah kredit ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas perekonomian
Kendati suku bunga acuan (BI Rate) saat ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah, pertumbuhan kredit perbankan tahun ini tidak akan melonjak tinggi. Diperkirakan, pertumbuhan kredit perbankan tahun ini 24-25 persen, tidak berbeda jauh dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2011 yang mencapai 24,6 persen.

B.     SARAN
Seperti itulah kiranya penjelasan yang saya tulis untuk dishare ke khalayak luas berdasarkan fakta-fakta yang saya dapatkan. Diharapkan jika suatu saat nanti BI kembali mengumumkan penurunan BI rate, maka semua kalangan seperti pengusaha kecil dan menengah, debitur kredit pemilikan rumah (KPR) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) diharapkan bisa merasa gembira karena kebijakan bank sentral akan diikuti dengan penurunan bunga kredit bank dan akses peminjaman yang cepat dan mudah sehingga dapat meningkatkan dunia usaha di Indonesia, mungkin harapan ini tidak hanya harapan saya semata tetapi harapan semua masyarakat Indonesia.


DAFTAR  PUSTAKA

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/03/26/02562822/Kredit.Perbankan.Tertekan.Inflasi